Sejarah Asuransi di Indonesia
Bisnis asuransi masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan Belanda dan negara kita pada waktu itu disebut Nederlands Indie. Keberadaan asuransi di negeri kita ini sebagai akibat berhasilnya Bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri jajahannya. Untuk menjamin kelangsungan usahanya, maka adanya asuransi mutlak diperlukan. Dengan demikian usaha perasuransian di Indonesia dapat dibagi dalam dua kurun waktu, yakni zaman penjajahan sampai tahun 1942 dan zaman sesudah Perang Dunia II atau zaman kemerdekaan. Pada waktu pendudukan bala tentara Jepang selama kurang lebih tiga setengah tahun, hampir tidak mencatat sejarah perkembangan. Perusahaan-perusahaan asuransi yang ada di Hindia Belanda pada zaman penjajahan itu adalah Perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh orang Belanda dan Perusahaan-perusahaan yang merupakan Kantor Cabang dari Perusahaan Asuransi yang berkantor pusat di Belanda, Inggris dan di negeri lainnya.
Dengan sistem monopoli yang dijalankan di Hindia Belanda, perkembangan asuransi kerugian di Hindia Belanda terbatas pada kegiatan dagang dan kepentingan bangsa Belanda, Inggris, dan bangsa Eropa lainnya. Manfaat dan peranan asuransi belum dikenal oleh masyarakat, lebih-lebih oleh masyarakat pribumi. Jenis asuransi yang telah diperkenalkan di Hindia Belanda pada waktu itu masih sangat terbatas dan sebagian besar terdiri dari asuransi kebakaran dan pengangkutan. Asuransi kendaraan bermotor masih belum memegang peran, karena jumlah kendaraan bermotor masih sangat sedikit dan hanya dimiliki oleh Bangsa Belanda dan Bangsa Asing lainnya. Pada zaman penjajahan tidak tercatat adanya perusahaan asuransi kerugian satupun. Selama terjadinya Perang Dunia II kegiatan perasuransian di Indonesia praktis terhenti, terutama karena ditutupnya pemsahaan- perusahaan asuransi milik Belanda dan Inggris.
Asuransi zaman kemerdekaan
Setelah Perang Dunia usai, perusahaan-perusahaan Belanda dan Inggris kembali beroperasi di negara yang sudah merdeka ini. Sampai tahun 1964 pasar industri asuransi di Indonesia masih dikuasai oleh Perusahaan Asing, terutama Belanda dan Inggris. Pada awal mulanya beroperasi di Indonesia mereka mendirikan sebuah badan yang disebut “Bataviasche Verzekerings Unie” (BVU) pada tahun 1946, yang melakukan kegiatan asuransi secara kolektif. Dengan demikian dari setiap penutupan, masing-masing anggota BVU memperoleh share tertentu. Cara ini dilakukan mengingat keadaan pada waktu itu belum teratur dan tenaga asuransi masih kurang sekali.
Pada tahun 1950 berdiri sebuah perusahaan asuransi kerugian yang pertama, yakni NV. Maskapai Asuransi Indonesia yang kemudian pada awal 2004 sudah menjadi PT MAI PARK. Pada saat itu, sebagai perintis perusahaan asuransi kerugian nasional yang pertama, maka perusahaan ini harus bersaing dengan perusahaan asuransi asing yang unggul baik dalam faktor permodalan maupun pengetahuan teknis. Dengan berdirinya perusahaan asuransi kerugian nasional tersebut, keberanian pengusaha nasional dipacu untuk mendirikan perusahaan-perusahaan asuransi kerugian. Keberanian ini didukung pula oleh Peraturan Pemerintah bahwa semua barang impor hams diasuransikan di Indonesia. Pengaturan ini dimaksudkan untuk menanggulangi pemakaian devisa untuk membayar premi asuransi di luar negeri. Pada tahun 1953 berdiri pula perusahaan swasta nasional yang bergerak dalam bidang reasuransi Belanda dan Inggris di Indonesia, pemakaian devisa untuk membayar premi reasuransi ke luar negeri juga masih tetap besar. Untuk menanggulangi hal ini, didirikanlah pada tahun 1954 sebuah perusahaan reasuransi profesional, yakni “PT. REASURANSI .UMUM INDONESIA” yang mendapat dukungan dari bank-bank pemerintah.Lembaga yang tersebut terakhir ini mengeluarkan peraturan-peraturan yang mengikat untuk perusahaan-perusahaan asuransi asing untuk menggunakanjasa perusahaan reasuransi nasional.
Langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam hal ini memberikan hasil yang diharapkan. Kegiatan PT. Reasuransi Umum Indonesia pada tahun 1963 diperluas dengan kegiatan reasuransi jiwa. Pada saat PT. Reasuransi Umum Indonesia didirikan, banyak perusahaan-perusahaan asuransi kerugian nasional bermunculan, tetapi perkembangannya masih terhambat oleh persaingan yang berat dari perusahaan-perusahaan asuransi swasta asing. Pada waktu perjuangan mengembaiikan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaan milik Belanda. Perusahaan-perusahaan Inggris dinasionalisasi dalam peristiwa konfrontasi.
Prospek Asuransi Tantangan di Tengah Ketidakpastian Global
Industri asuransi berpeluang tetap tumbuh di tengah ketidakpastian. Tapi, jika krisis keuangan global berlarut-larut, industri asuransi yang tengah menghadapi tekanan modal bakal terkena pukul ganda. AMERIKA Serikat (AS) yang tengah dilanda “pagebluk” menebarkan jaring kesulitan ke negara-negara lain. Indonesia, salah satunya. Pukulan telak sudah dialami sektor pasar modal. Kendati sektor riil baru terkena gerimisnya, kenangan hitam akan depresi besar 1929 dan trauma krisis Asia 1997 begitu menghantui banyak orang. Sebab, jika ekonomi global terlalu lama tiarap, sektor riil di Indonesia akan kehabisan tenaga, dunia usaha lesu, dan daya beli masyarakat ikut runtuh.
Meski tetap optimistis, para pelaku di industri asuransi nasional tidak boleh menganggap enteng krisis keuangan global. Sektor yang terpukul memang baru di pasar modal. Tapi, efek berantai tinggal menunggu waktu. Bahkan, kehancuran bursa saham secara langsung sejak Oktober lalu sudah nyata-nyata menggerus hasil investasi industri asuransi di Tanah Air. Sekalipun krisis keuangan global saat ini sudah berada di titik nadir, pemulihannya butuh waktu setidaknya dua hingga tiga tahun. Akibatnya, industri asuransi bakal menghadapi kondisi eksternal yang tidak menguntungkan. Bakhan, kondisi ini mungkin saja menekan pertumbuhan premi. Pada kurun waktu yang bersamaan, perusahaan-perusahaan asuransi juga dituntut oleh regulator untuk menambah modal sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan. Perusahaan asuransi harus dapat memenuhi modal Rp40 miliar pada 2008, Rp70 miliar pada 2009, dan Rp100 miliar pada 2010. Upaya memupuk modal secara organik pada dua tahun ke depan tentu bukan pekerjaan gampang ketika kondisi eksternal masih terasa garang.
Kalau beleid tentang permodalan yang hingga kini masih ditentang Asosiasi Perusahaan Asuransi Umum (AAUI) terus diberlakukan, Biro Riset InfoBank (birI) memerkirakan akan ada perusahaan asuransi yang tersingkir dari kancah perasuransian nasional. Sebab, menurut Isa Rachmatarwata, Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), ada segelintir perusahaan bermodal cekak yang kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Isa juga memerkirakan, bakal ada perusahaan asuransi bermodal cekak yang terpaksa bergabung agar bisa memenuhi ketentuan modal minimum. Mengingat krisis likuiditas tengah melanda dunia, mencari investor baru tentu saja lebih sulit dibandingkan dengan beberapa tahun silam. Untungnya, investor asing tetap tertarik menanamkan modalnya di asuransi jiwa karena masih sangat besarnya ruang pertumbuhan pasar asuransi jiwa di Indonesia.
Sebagai industri yang mengelola risiko, asuransi tidak akan pernah kehilangan pasar, meski situasi sedang bergejolak. Dengan munculnya ketidakpastian itu, proteksi asuransi justru dibutuhkan. Industri asuransi pun harus mampu mengambil kesempatan. Lantas, berapa pertumbuhan premi industri asuransi 2009? Pertumbuhan asuransi umum diperkirakan akan melemah. Berdasarkan beberapa sumber yang dihimpun InfoBank, asuransi umum sulit meraih pertumbuhan double digit. Tahun ini masih berpotensi tumbuh seperti 2007 yang 14%. Sedangkan, untuk asuransi jiwa, peluang tumbuh masih cukup tinggi, kendati sulit mencetak pertumbuhan fantastis seperti 2007 yang mencapai 66%.
Prospek Asuransi Jiwa
Asuransi jiwa tetap punya prospek tumbuh pada tahun politik. Tapi, pengaruh krisis finansial global —jika belum pulih tahun depan lebih mengkhawatirkan. Krisis subprime mortgage akhirnya berdampak juga bagi Indonesia, khususnya di pasar modal. Krisis dimulai dari banyaknya kredit perumahan di Amerika Serikat (AS) yang bermasalah akibat banyaknya nasabah gagal bayar. Dampak nasabah gagal bayar ini pada perusahaan penerbit surat utang sub-prime mortgage, yang merupakan sekuritisasi mortgage, adalah perusahaan tidak hanya merugi besar, tapi juga kesulitan likuiditas. Dampak berikutnya menimpa investor institusi keuangan yang membeli surat utang sub-prime mortgage, yaitu mengalami rugi besar, karena nilainya menurun sangat tajam menjadi sekitar 20%.
Dalam kondisi seperti itu, secara bersamaan, kebutuhan akan likuiditas menjadi sangat mendesak. Cash flow tergerus akibat gagal bayar. Terjadi pula pencairan investasi oleh sebagian investor. Karena besarnya sub-prime mortgage yang beredar, bahkan di beberapa institusi keuangan besar dunia, tekanan likuiditas menjadi sangat besar dan bersifat global. Kebutuhan akan likuiditas yang sangat tinggi telah memaksa investor mencairkan portofolio investasinya yang berada di luar negeri, tidak terkecuali Indonesia. Pengaruh terbesar terjadi pada investasi yang likuid, yaitu saham di pasar modal dan deposito di perbankan. Indonesia agak kurang beruntung karena pasar modal kita 60% hingga 70%-nya masih didominasi investor asing, sehingga tekanan jualnya sangat tinggi. Ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran saham di bursa pun terjadi. Dapat dibayangkan, dana panas yang bisa keluar tiap saat (hot money) sebesar puluhan triliun rupiah yang sudah tertanam dalam sistem keuangan Indonesia mendadak ditarik keluar. Alhasil, harga saham di bursa kita jatuh dan kurs mata uang dolar AS melejit. Harga saham pun makin terpuruk dengan adanya faktor psikologis berupa rasa ketidakpastian di hati investor lokal dan ulah para spekulan. Dana panas asing yang ditarik secara tiba-tiba juga mengakibatkan kelangkaan likuiditas di pasar Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dan kebutuhan berjaga-jaga, lembaga keuangan, terutama perbankan, menaikkan bunga deposito sekaligus melakukan perlambatan dan pengetatan penyaluran pinjaman. Keadaan ini memperburuk likuiditas di pasar.
Peluang dan Harapan ke Depan
Asuransi jiwa bukan sekadar perlindungan untuk diri dari kemungkinan meninggal, cacat, atau sakit berkepanjangan. Asuransi jiwa juga bukan hanya death protection, melainkan income protection. Asuransi jiwa juga tidak hanya melindungi pemegang polis kalau meninggal lebih cepat, tapi juga memroteksi kalau hidup lebih lama. Yaitu, perlindungan saat kita tidak produktif lagi, sehingga tidak akan membebani anak cucu. Bahkan, kita masih memiliki akses pendanaan guna investasi jangka panjang untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi bangsa. Life insurance lebih tepat jika dikatakan sebagai “asuransi kehidupan” daripada “asuransi jiwa”. Pertumbuhan industri asuransi jiwa tiga hingga empat tahun terakhir relatif tinggi karena stabilnya sektor keuangan dan moneter, rendahnya tingkat bunga deposito dan inflasi, stabilnya nilai tukar, serta pertumbuhan ekonomi yang baik dan berkesinambungan. Hal itu merupakan iklim yang sangat kondusif bagi perkembangan asuransi jiwa. Kondisi seperti ini memberikan peluang kepada masyarakat untuk lebih memikirkan perencanaan masa depannya dan mendiversifikasi investasinya. Jadi, keberhasilan dan lamanya langkah kebijakan efektif untuk mengatasi dampak krisis finansial global supaya tidak berimbas ke perbankan dan sektor riil, menjadi prasyarat prospek perkembangan asuransi jiwa ke depan. Apabila krisis ini berlalu dan kondisi keuangan dan moneter normal kembali, dapat dipastikan, secara bertahap, pertumbuhan industri asuransi yang cukup tinggi bisa terulang kembali. Peluangnya sangat besar karena masih rendahnya penetrasi pasar asuransi jiwa di Indonesia.
Prospek Asuransi Umum
Ada empat catatan penting dalam mencermati outlook industri asuransi umum 2009. Satu, angka pertumbuhan industri yang menurun. Dua, konsolidasi industri dan disiplin institusional yang meningkat. Tiga, peningkatan kapasitas organisasi pascakonsolidasi industri. Empat, peningkatan daya tahan dan daya saing perusahaan dalam industri. Jadi, masa sulit akhir 2008 ini tampaknya akan menjadi blessings in disguise bagi penguatan fundamental industri pada 2009. Sekalipun belum ada rentang angka perkiraan laju pertumbuhan ekonomi nasional yang dapat diandalkan (sekitar 4%-6,1%), dapat dipastikan pada 2009 pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami perlambatan berarti akibat krisis keuangan global yang terjadi pada paruh kedua 2008 ini. Hampir tidak ada sektor yang tidak akan terkena dampak krisis ekonomi global kali ini. Industri asuransi umum secara khusus akan mengalami perlambatan pertumbuhan pendapatan premi akibat menurunnya laju pertumbuhan penanaman modal baru dan kemungkinan kebangkrutan banyak perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan. Karena itu, kalau kita menggunakan angka estimasi (atau asumsi) pertumbuhan yang disampaikan Menteri Keuangan pada pertengahan Oktober 2008, sekitar 5,5%, maka diperkirakan laju pertumbuhan premi bruto seluruh industri asuransi umum tidak akan melampaui 10% pada 2009.
Angka estimasi ini memang sepintas lalu tampak agak pesimis karena pada semester I 2008 saja, laju pertumbuhan pendapatan dapat mencapai kisaran 26%. Tapi, semua pembukuan pendapatan ini terjadi sebelum depresi ekonomi menjadi sebuah kenyataan, pada akhir September 2008. Industri ini secara khusus perlu terus berusaha agar dapat mempertahankan tingkat margin laba bersih rata-rata di kisaran 7%-9% dan tingkat return on asset (ROE) 10%-12%. Apabila tingkat profitability ini dapat dijaga seperti yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir ini, maka kita dapat menyakini bahwa fundamental industri ini akan makin sehat walaupun pertumbuhan pendapatan akan sedikit melambat pada 2009. Sekalipun estimasi angka pertumbuhan industri agak pesimis, konsolidasi pada industri asuransi umum tampaknya akan mengalami percepatan yang berarti. Biro Perasuransian Departemen Keuangan Republik Indonesia (RI) pada minggu ketiga mengumumkan antusiasme sebagian besar dari 40 perusahaan asuransi umum yang belum memiliki modal minimal Rp40 miliar pada akhir 2008 ini untuk melakukan berbagai tindakan korporasi (corporate action) secepatnya. Sekalipun krisis ekonomi global akan sedikit memperlambat proses corporate action ini, baik dalam bentuk strategic investment, likuidasi, M&A, maupun takeovers, arahnya cukup jelas.
Iktikad baik dari banyak perusahaan asuransi umum yang bermodal di bawah ketentuan minimum permodalan menunjukkan sinyal menggembirakan. Satu-satunya kesulitan yang akan terjadi dalam proses konsolidasi ini adalah lambatnya negosiasi dan/atau penyelesaian yang terkait dengan penutupan dan/atau pengambilalihan kepemilikan. Secara spesifik, dapat dikatakan aspek-aspek kritis tersebut adalah (1) penentuan nilai perusahaan, (2) penyelesaian outstanding liabilities, dan (3) kesepakatan mengenai mekanisme governance dalam masing-masing perusahaan pascakonsolidasi. Kemauan dari para pelaku industri untuk makin mendukung penegakan compliance oleh regulator jelas akan membantu industri ini untuk mencapai tingkat disiplin institusi yang lebih tinggi. Sehingga, pada gilirannya, berbagai macam perilaku persaingan yang tidak sehat, seperti perang harga, akan terus berkurang. Tambahan setoran modal sesuai dengan ketentuan permodalan yang berlaku akan mendorong perbaikan kapasitas perusahaan dalam seluruh industri. Tambahan modal ini diharapkan dapat dialokasikan untuk mengurangi ketergatungan industri pada kapasitas reasuransi asing dan sekaligus membangun kapasitas organisasi di tiap perusahaan, terutama untuk aspek pemasaran.
Dengan modal yang makin besar, diharapkan retensi sendiri dapat meningkat secara bertahap, sehingga pada gilirannya ketergantungan pada back-up reasuransi asing secara gradual juga dapat berkurang. Tentu saja hal ini tidak akan serta-merta terjadi. Proses penurunan ketergantungan ini baru mulai lebih terasa pada 2012-2013. Sementara itu, upaya meningkatkan kapasitas organisasi, terutama di bidang pemasaran, tampaknya akan menjadi tantangan yang tidak ringan dalam jangka menengah. Konteks saluran distribusi industri pada industri asuransi umum yang secara tradisional lebih banyak mengandalkan broker asuransi sebaiknya mulai makin giat mengembangkan agen-agen asuransi yang profesional dan seiring dengan itu menetapkan landasan institusionalnya. Hal ini antara lain dapat dilakukan dengan mengembangkan program sertifikasi formal dari para agen asuransi umum melalui proses pendidikan dan ujian yang terstruktur, sebagaimana ujian sertifikasi A3IK dan A2IK pada tenaga underwriter dan ujian sertifikasi financial planner pada para agen asuransi jiwa. Investasi untuk mengembangkan kapasitas pemasaran ini tentulah tidak murah dan jelas tidak mudah. Karena itu, kerja sama antarpelaku industri melalui naungan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) harusnya dilakukan agar biaya investasinya dapat menjadi lebih ringan bagi semua pihak. Tentu saja dukungan enforcement dari regulator akan menjadi prasyarat tercapainya tujuan mengembangkan para agen asuransi umum.
Selain pada aspek saluran distribusi, kapasitas pemasaran lain yang perlu segera dikembangkan perusahaan asuransi umum adalah kegiatan pengembangan dan inovasi produk baru yang memberi nilai tambah lebih tinggi bagi para nasabahnya. Kapasitas organisasi ini juga tidak dapat dibangun dalam jangka pendek. Minimal ada waktu dua hingga tiga tahun sampai upaya ini menghasilkan buah yang lebih matang. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam jangka pendek adalah mulai mengembangkan kemampuan riset pasar agar kebutuhan konsumen bisa dikenali dengan lebih baik. Meningkatkan daya saing adalah ambisi hampir semua perusahaan. Itu perlu dilakukan agar mereka dapat terus bertahan hidup dalam jangka panjang, menghasilkan laba yang cukup dalam jangka menengah, dan bertumbuh dalam jangka pendek. Kenyataannya, hampir 50% perusahaan asuransi umum yang tercatat saat ini belum memiliki daya tahan jangka pendek yang memadai. Sehingga, bagi mereka, upaya memikirkan peningkatan daya saing hampir-hampir menjadi sebuah keniscayaan.
Karena itu, upaya penegakan disiplin institusi dalam jangka pendek dengan melakukan enforcement supaya terjadi compliance sebagaimana yang diharapkan (seperti kecukupan modal, RBC atau risk based capital, dan pengaturan tarif discount premi sesuai dengan risk profile) merupakan unsur penting dalam meningkatkan kesehatan industri ini dalam jangka panjang. Tanpa disiplin institusi yang memadai, jangankan daya saing, daya tahan jangka pendek saja masih akan menjadi masalah besar bagi industri ini. Masih cukup banyak pelaku yang tidak memiliki daya tahan hidup, sehingga akan mengalami kesulitan dalam melayani nasabah tertanggungnya dengan bertanggung jawab. Secara umum, industri asuransi umum seharusnya memasuki 2009 dengan penuh optimisme akan terjadinya perbaikan institusional dan organisasional sekalipun pasar akan sedikit mengalami kelesuan. Anggaplah 2009 sebagai sebuah periode “seleksi pasar” untuk menyaring perusahaan yang sudah memiliki organisasi kuat untuk bersaing dan perusahaan yang belum mampu bertahan hidup. Tentu saja, upaya menuju perbaikan yang substansial tidak akan pernah luput dari “kesakitan” jangka pendek.
SUMBER
www. InfoBank.com
www.prudent.web.id/asuransi-prudential/artikel/sejarah-asuransi-di-indonesia.html
www.indolife.biz/news.asp?id=10093
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar