Bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi
Tidak dapat disangkal, di era global Bahasa Inggris menjadi sarana komunikasi bagi masyarakat berbagai bangsa dan budaya. Di setiap negara, penggunanya juga tumbuh beragam. Dalam pertumbuhan ini ada yang dianggap atau menganggapnya sebagai bahasa standar, dalam proses standarisasi, bahkan ada yang tidak termasuk dalam keduanya.
Bahasa Inggris tumbuh dan berkembang dalam berbagai kontek sosial budaya dan lingkungan yang berbeda. Pertumbuhan dan perkembangannya cenderung dipengaruhi dan diarahkan oleh lingkungan tersebut.
ASEAN sendiri memiliki perbedaan antarnegara sesamanya, apalagi jika dibandingkan dengan kontek Asia dan internasional. Dalam rangka menghimpun dan mengemas perbedaan itu, Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta menyelenggarakan Konferensi Bahasa Inggris ASEAN (ESEA) IX selama tiga hari di pertengahan Desember lalu.
Konferensi bertema ‘Texts and Contexts of English Language Studies in Southeast Asia’ itu, dimeriahkan dengan penyampaian 25 makalah. Pemakalahnya terdiri atas dosen Bahasa Inggris dalam negeri dan pakar studi Bahasa Inggris mancanegara. Di antaranya dari Malaysia, Singapura, Brunei, Hongkong, Thailand, Australia dan Selandia Baru.
Konferensi dibagi atas sidang pleno dan kelompok. Sidang pleno menampilkan tujuh pemakalah utama (key-note speakers) dari pakar yang mewakili Brunei Darusallam, Malaysia, Hongkong, Singapura, Thailand, Australia dan Indonesia. Selebihnya disampaikan dalam sidang kelompok.
Key-note speaker dari Indonesia Prof Dr Suwarsih Madya MA yang juga kahumas BKLN Dep Pendidikan Nasional RI, dalam makalahnya menekankan pentingnya kompetensi berbahasa Inggris bagi pejabat negara, sebagai antisipasi menjalankan tugas di luar negeri. Kompetensi dimaksud mencakup kemampuan berkomunikasi sesuai nilai sosial budaya bangsa sendiri dan bangsa dari negara tujuan, sehingga dalam berkomunikasi tidak akan terjadi kesalahpahaman sosial budaya.
Beberapa makalah mengambil tema tentang kecenderungan baru dalam pengajaran Bahasa Inggris di negara Asia Tenggara khususnya dan dunia secara umum, dalam usaha menyikapi perkembangan keberagaman Bahasa Inggris yang semakin marak. Ada juga tema tentang kebahasaan, pengajaran keterampilan berbahasa, sastra, Bahasa Inggris lewat internet dan komputer, serta tentang teori pemerolehan bahasa (akuisisi).
Pemakalah dari mancanegara rata-rata mengkhawatirkan kecenderungan semakin berkembangnya bahasa Inggris lokal (Englishes) di negara yang mereka wakili, yang dirasa sangat penting dan mendesak untuk disikapi secara arif dan sangat hati-hati. Ini mengingat, keberagaman Englishes yang memang marak, keberadaannya harus segera memperoleh legalitas baik formal, sosial budaya maupun secara linguistik.
Kontek Australia
Salah satu fenomena hangat yang dilontarkan dalam konferensi tersebut adalah bagaimana menyikapi keberagaman Englishes di negara masing-masing. Di Australia, misalnya, selain Bahasa Inggris Australia Standar (SAE), berkembang Bahasa Inggris Aborigin (AAE). Yang menarik adalah, SAE berkembang dalam berbagai Englishes sesuai letak geografis penuturnya, begitu juga dengan AAE. Perkembangan ini menciptakan sederet Englishes baru di benua kanguru tersebut bersama dengan sederetan perbedaannya, baik dari ucapan, kosa kata, intonasi maupun tata bahasanya.
Keadaan seperti ini menimbulkan sejumlah dampak. Misalnya, dapat terjadi penutur AAE dari tempat berbeda tidak dapat saling berkomunikasi dan kesalahpahaman sering terjadi. Kasus yang sama juga dapat terjadi bagi penutur SAE dari tempat berbeda. Ini hanya merupakan salah satu contoh dari rumitnya pertumbuhan dan dampak Englishes di Australia, sebuah negara di mana Bahasa Inggris merupakan bahasa pertama masyarakatnya.
Kontek Singapura
Kasus lebih rumit terjadi di Singapura, di mana rakyatnya menggunakan empat bahasa sesuai asal etnis mereka, yaitu Melayu, Tamil, Mandarin dan Inggris Singapura (Singlish). Selain menggunakan bahasa masing-masing dalam berkomunikasi dengan komunitas etnis yang sama, masyarakat Singapura menggunakan Bahasa Inggris dalam komunikasi resmi dan Singlish dalam komunikasi antaretnis mereka (lingua franca). Setiap anggota etnis tertentu berbahasa Inggris dengan pengaruh bahasa dan budaya masing-masing etnisnya, sehingga terbentuk Bahasa Inggris Melayu, Inggris Tamil, Inggris Mandarin dan Singlish, yang semuanya berbeda dengan Bahasa Inggris orang Inggris.
Keadaan ini terus berkembang sesuai kebutuhan etnis masing-masing, sehingga dapat dibayangkan betapa rumitnya berbahasa Inggris di Singapura dengan segala keberagamannya. Menjadi pertanyaan kita adalah, Bahasa Inggris manakah yang harus dikembangkan secara resmi oleh pemerintah melalui sekolah, perguruan tinggi dan lembaga bahasa di negara tersebut, tentunya dengan memperoleh legalitas dari pemerintah setempat.
Seorang pemakalah mengetengahkan kebaikan dan kelemahan memperoleh informasi lewat internet. Pada satu sisi internet merupakan sarana canggih yang dapat menyajikan informasi mutakhir dari seluruh dunia dengan biaya relatif murah. Namun di sisi lain, informasi yang diberikan tidak selalu benar. Karenanya pengguna internet dianjurkan untuk selektif dalam mengonsumsi suguhan informasi dari internet.
Kontek Indonesia
Kasus yang terjadi di Australia dan Singapura seperti contoh di atas, juga terjadi di negara lain di dunia termasuk Indonesia. Dalam menyikapi hal ini, ada pemakalah lokal mengetengahkan sebuah tema yang menurut penulis cukup ‘nyleneh’. Ia menganjurkan agar guru Bahasa Inggris tidak perlu mempedulikan kesalahan dan kesilapan yang dibuat siswanya karena hal itu hanya akan menambah beban siswa dan guru. Dalam berkomunikasi, yang penting adalah sampainya pesan si pembicara kepada lawan bicara.
Beberapa pemakalah lain tetap menekankan pentingnya tata bahasa, karena dengan menggunakan tata bahasa yang baik dan benar dapat menghindarkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi.
Dalam kontek Indonesia di mana sebagian besar penutur Bahasa Inggris berorientasi ke negara Inggris dan Amerika Serikat, sebenarnya juga mengalami kasus yang rumit. Masalahnya adalah, di negara Inggris sendiri terdapat berbagai Englishes dengan segala perbedaannya, seperti Inggris Skotlandia, Inggris Wales dan Inggris London (Cogney). Sebaliknya di Amerika juga terdapat sejumlah American Englishes, seperti Northern English, Midland English, Southern English dan Black English.
Lalu, Bahasa Inggris mana yang harus diajarkan di sekolah dan lembaga pendidikan lainnya? Dalam menyikapi masalah ini kita masih beruntung, karena kebijakan untuk itu berada di pemerintah pusat. Perlu diperhatikan adalah agar kebijakan yang diambil tetap konsisten. Dalam pengertian, bagi yang berorientasi ke Inggris aturan ketatabahasaan dan ucapannya tidak berubah ke Amerika, atau sebaliknya. Dengan demikian Bahasa Inggris yang dipakai adalah bahasa yang ‘berterima’ (acceptable and intelligible) yang dapat dipahami tanpa mengabaikan aturan bahasa yang berlaku, dengan memperhatikan ‘siapa yang berbicara, kepada siapa, di mana dan untuk apa’. Secara singkat dapat dikatakan, Bahasa Inggris berterima ini kira-kira sama dengan Bahasa Inggris yang dipakai masyarakat terpelajar yang berkomunikasi dalam situasi formal.
Proses akuisisi
Juga penting dan menarik untuk disimak adalah penomena tentang teori pemerolehan bahasa (akuisisi). Belajar bahasa lewat akuisisi ini cukup lama dikenal di mancanegara. Sementara di Indonesia hal ini masih merupakan konsumsi perdebatan antara yang pro dan kontra.
Teori ini berpendapat, selain siswa mempelajari bahasa (Inggris) secara formal di dalam kelas, mereka dapat memperolehnya secara tidak terasa dari luar kelas. Misalnya lewat mendengarkan siaran radio berbahasa Inggris, menyaksikan acara televisi berbahasa Inggris, berkomunikasi dengan orang asing dalam Bahasa Inggris dan lain-lain. Teori ini juga meyakini, siswa akan lebih mudah belajar bahasa (lisan) lewat akuisisi, asalkan inputnya optimal dan menantang.
Ini lebih dimungkinkan karena dalam proses akuisisi situasinya rilek, dapat dilakukan kapan saja, di mana saja dan bahannya pun apa saja sejauh itu menggunakan Bahasa Inggris. Berlainan dengan belajar di dalam kelas yang situasinya tegang, karena siswa merasa dipaksa untuk duduk khusuk dan sangat terikat pada waktu dan bahan kurikulum. Jika belajar secara akuisisi lebih berorientasi pada kompetensi berkomunikasi, belajar di dalam kelas masih lebih berorientasi pada hasil ulangan/ujian yang baik.
Proses akuisisi sebenarnya juga dapat terjadi di dalam kelas, asalkan guru menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam mengajar, sesuai batas kemampuan siswanya. Jika hal ini dilakukan terus menerus, dampaknya akan sangat positif baik bagi siswa maupun guru. Dari bahan yang diajarkan, siswa akan memperoleh input baru tentang kebahasaan. Sedang dari bahasa pengantar yang dipakai guru, siswa akan memperoleh kosa kata baru beserta lafalnya. Rasa percaya diri guru akan semakin besar, karena kemampuannya dalam berbicara akan semakin hebat. Di saat yang sama, siswa akan terdorong untuk menggunakan bahasa Inggris dengan gurunya.
Menurut penulis, secara umum pelaksanaan konferensi ESEA IX ini berhasil dengan baik, walaupun beberapa hal masih dapat dikembangkan lagi di masa datang. Kualitas makalah sangat memadai, didukung pemakalah mancanegara yang rata-rata berpredikat profesor doktor, sementara pemakalah domestik minimum berpredikat pasca sarjana. Jumlah peserta 100 orang lebih juga cukup memadai, karena mereka berasal dari berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) yang tersebar dari Sumut sampai Ternate, termasuk Kaltim, Kalbar dan Kalsel. Kegiatan dilangsungkan dalam ruang cukup luas dan bersih, yang semuanya dilengkapi AC dan LCD. Konsumsi, refreshment dan pelayanannya pun sangat memadai.
Ada sejumlah kesimpulan yang disepakati sebagai hasil konperensi. Di antaranya, pertumbuhan Bahasa Inggris menjadi Englishes harus dipandang sebagai kenyataan yang tidak dapat dibantah, serta keberadaannya perlu disikapi secara arif dan hati-hati. Ini sesuai dengan jiwa masyarakat ASEAN, yang juga beragam namun cinta kebersamaan.
Keberadaan Englishes sebagai variasi atau keberagaman, hendaknya tidak dipandang sebagai sesuatu yang ekstrim atau discrete (antara bahasa dan bukan bahasa), namun sebagai kontinuum. Artinya, ada variasi yang perbedaannya dengan Bahasa Inggris sangat sedikit dan ada variasi Englishes yang jauh berbeda dengan Bahasa Inggris. Kebijakan tentang Bahasa Inggris mana yang akan diikuti dan diajarkan di sekolah, diserahkan kepada negara masing-masing.
Pleno menyadari, tujuan utama belajar bahasa adalah untuk komunikasi. Namun komunikasi antarbangsa diharapkan dapat menggunakan bahasa yang ‘berterima’, atau acceptable bagi semua penggunanya dalam kontek tertentu. Pleno juga sepakat untuk memilih Brunei Darussalam sebagai tuan rumah bagi ESEA X, Mei tahun depan.
Sebagai seorang pengajar Bahasa Inggris di PTS di Kota Seribu Sungai ini, penulis ikut ambil bagian dalam event ilmiah bertaraf ASEAN yang dilaksanakan USD Jogyakarta tersebut merupakan pengalaman sangat berharga. Dari event itu banyak juga hal baru yang penulis dapatkan. Namun rasa prihatin penulis tidak dapat terbendung, demi merasakan betapa jauh tertinggalnya visi, misi dan persepsi penulis dari perkembangan yang terjadi di luar sana, apalagi dalam kontek ASEAN.
Dalam pengamatan penulis, kebanyakan dosen PTS di kota ini masih berkutat pada hal-hal yang rutin, sehingga pengembangan profesional akademik seperti temu ilmiah, seminar dan semacamnya kurang mendapatkan perhatian. Tampaknya belum ada wahana dan dana yang mendukung bagi berlangsungnya event tersebut, dalam rangka menuju peningkatan kualitas SDM PTS khususnya dan kalangan civitas akademika pada umumnya.
Sumber : http://kursusinggris.wordpress.com/2006/11/07/bahasa-inggris-sebagai-sarana-komunikasi/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Setuju sejakali. Tata bahasa tetap harus diajarkan, namun intellability dalam berbahasa Inggris sebagai media komunikasi juga perlu diperhatikan. Jadi pengajaran dan praktis bhs Inggris berdiri di dua sisi, tatabahasa dan englishes variation stand together.
Posting Komentar